Restitusi Sebagai Upaya Membangun Budaya Positif

 Tanpa terasa sudah 4 modul yang saya pelajari dalam program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 5 Kabupaten Bangka ini. Berdasarkan informasi yang saya terima, masih tersisa 6 modul lagi yang akan menjadi “sumber energi” baru bagi kami dan rekan-rekan lainnya untuk mengubah paradigma dalam proses pembelajaran yang telah menjadi keseharian kami selama ini. Tantangan semakin berat, jelas itu yang saya rasakan saat ini. Baik dari segi ilmu yang akan kami pelajari nanti, maupun dari segi penyelesaian berbagai tugas sebagai bentuk implementasi berbagai ilmu dan pemahaman konsep yang kami dapatkan ke depannya nanti. Namun saya yakin dan percaya, tak ada yang tak mungkin jika kita selalu berusaha. Tantangan dunia pendidikan ke depannya akan semakin berat tentunya, kesiapan dan ketangguhan serta kemampuan kita sebagai pendidik semakin teruji seiring perkembangan teknologi yang semakin melesat cepat dewasa ini. Menciptakan generasi emas di masa depan tentunya menjadi impian pendidik negeri ini. Dengan komitmen dan kolaborasi, saya yakin dan percaya tujuan Pendidikan seperti yang senantiasa digaungkan oleh berbagai kalangan akademisi bangsa ini akan terwujud suatu saat nanti.

Materi yang saya dapatkan sampai saat ini, terutama yang berkaitan dengan Budaya Positif seperti yang dipaparkan dalam modul 1.4. memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan peran saya sebagai Calon Guru Penggerak saat ini. Sebagai seorang Calon Guru Penggerak saya sangat menyadari sekali jika Budaya Positif merupakan hal yang sangat penting dalam upaya untuk menciptakan lingkungan positif bagi tumbuh kembang anak didik. Dalam rangka menciptakan lingkungan positif, salah satu strategi yang perlu kita lakukan adalah terkait penerapan disiplin di sekolah. Selama ini kita identik dengan konsep “disiplin” sebagai upaya untuk mendisiplinkan anak didik kita dengan berbagai cara baik itu hukuman, konsekuensi maupun penghargaan. Padahal semua upaya yang kita lakukan itu tak lebih sebagai bentuk untuk memunculkan motivasi ekstrinsik dalam diri anak-anak didik kita. Kita lupa bahwa sejatinya pendidikan adalah proses untuk menanamkan nilai dalam diri mereka, bukan karena tekanan atau dorongan dari pihak luar seperti yang selama ini kita lakukan. Menumbuhkan disipilin positif sebagai upaya untuk membangun motivasi intrinsik dalam diri anak-anak didik kita bahwa mereka harus mampu menghargai diri mereka sendiri dan menjadi orang yang mereka inginkan melalui nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Kita, terutama diri saya sendiri sering mengabaikan berbagai kebutuhan dasar anak-anak didik saya yang sejatinya merupakan dorongan mereka untuk melakukan sesuatu. Ketika mereka memunculkan perilaku yang “negatif”, seyogyanya kita harus memahami sinyal yang terjadi jika ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Ketika anak-anak didik kita melakukan kesalahan, bukan hukuman ataupun perasaan bersalah yang kita berikan sebagai bentuk tanggapan. DI modul ini saya memahami posisi kontrol guru sebagai Manajer, dimana guru akan mengembalikan tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan anak didik kepada diri mereka sendiri, mencari jalan keluar permasalahan atas kesalahan tersebut, tentunya dengan bimbingan kita sebagai seorang guru. Di modul ini pula saya memahami tahapan Segitiga Restitusi yang seharusnya dilakukan seorang guru sebagai salah satu cara untuk menanamkan dispilin posistif pada murid sebagai bagian budaya positif sekolah. Pada akhirnya saya memahami berbagai upaya untuk menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah mulai dari pembentukan keyakinan kelas sampai penerapan segitiga restitusi. Sungguh suatu pemahaman ilmu yang luar bisa sekali bagi saya yang masih terus belajar menjadi seorang pendidik yang sejatinya mampu menuntun kodrat tumbuh kembang anak-anak didik.

Ide, materi atau pendapat narasumber sejauh ini selaras dengan praktik yang saya jalankan selama ini, walaupun jujur belum semuanya mampu saya implementasikan dengan baik di lapangan, terutama untuk penerapan Budaya Positif ini. Menciptakan lingkungan positif yang aman, nyaman dan menyenangkan diawali dengan penumbuhan disiplin positif seluruh warga sekolah. Proses ini tentunya tak akan dapat kita lakukan secara instan, dalam waktu singkat. Penumbuhan nilai-nilai kebajikan yang dituangkan dalam keyakinan kelas haruslah dilakukan secara berkesinambungan dan kontinu. Memerlukan komitmen dan kolaborasi dari seluruh warga sekolah, pemangku kepentingan serta orang tua. Saya sangat sepakat sekali jika tindakan negatif yang dimunculkan seorang murid sebenarnya adalah bentuk pelampiasan atas tidak terpenuhinya kebutuhan dasar murid tersebut. Namun hal ini pada kenyataannya sangat kompleks karena akan melibatkan keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sebelum sekolah. Sama halnya seperti saat kita harus menumbuhkan nilai-nilai kebajikan yang akan menjadi pondasi dalam pembentukan keyakinan diri yang menjadi dasar dalam penumbuhan disiplin positif dalam diri seorang anak. Keselarasan antara lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga tentunya menjadi hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam upaya menciptakan budaya positif di sekolah.

Konsep-konsep utama yang saya pelajari dan menurut saya penting untuk terus dibawa selama menjadi Calon Guru Penggerak bahkan setelah menjadi Guru Penggerak nantinya banyak sekali, mulai dari disiplin positif, teori motivasi, kebutuhan dasar manusia, nilai-nilai kebajikan, hukuman, penghargaan dan konsekuensi, posisi kontrol guru serta segitiga restitusi. Terkait konsep dasar hukuman, penghargaan dan konsekuensi, pemahaman dan penerapannya di lapangan jelas membutuhkan “energi” yang lebih. Tak mudah untuk menyampaikan konsep ini kepada rekan-rekan sejawat mengingat yang terjadi selama ini anak-anak didik kami sangat “akrab” dengan ketiga hal ini jika memunculkan sebuah perilaku. Perilaku positif akan dihargai dengan penghargaan, sedangkan perilaku negatif akan dihargai dengan hukuman dan konsekuensi. Berbagi pemahaman konsep segitiga restitusi jelas merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan guna menyamakan persepsi seluruh warga sekolah jika ada murid yang melakukan tindakan yang melanggar aturan yang telah disepakati. Berbagai konsep utama dalam modul Budaya Positif ini jelas menjadi bekal bagi saya secara pribadi untuk merefleksikan dan memperbaiki diri dalam menjalankan tugas sebagai seorang pendidik, bukan hanya sebagai seorang pengajar, terutama terkait posisi kontrol guru saat seorang anak didik melakukan kesalahan/pelanggaran kesepakatan yang seharusnya merupakans eorang “manajer” bukan “pemberi hukuman”.

Setelah mendapatkan materi ini, perubahan yang ingin saya lakukan pada diri saya adalah mengubah pola pikir yang akan coba saya implementasikan dalam proses keseharian saya sebagai seorang pendidik. Saya berupaya mengubah posisi kontrol atas perilaku negatif anak-anak didik saya  yang sebelumnya cenderung sebagai “pembuat rasa bersalah” menjadi seorang “manajer”. Berupaya untuk membangun motivasi intrinsik anak-anak didik saya, bukan membiarkan mereka terpola dengan motivasi ekstrinsik yang bersumber dari lingkungan mereka. Berusaha untuk membangun disiplin positif terkait bagaimana anak-anak didik saya mengontrol diri mereka sendiri. Menuntun mereka agar mampu berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai kebajikan dalam keseharian aktivitas mereka karena dorongan yang benar-benar timbul dari diri sendiri, bukan karena tekanan apalagi paksaan siapa pun. Menyikapi perilaku anak-anak didik yang melakukan pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat dengan menggunakan segitiga restitusi, mulai dari menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan sendiri solusi atas kesalahan/pelanggaran yang telah dilakukannya. Saya meyakini jika perilaku negative yang dimunculkan seorang murid merupakan bentuk tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar mereka. Tentunya semua ini akan saya lakukan secara bertahap namun dengan satu keyakinan jika proses pendidikan sejatinya adalah “menuntun” anak-anak didik, bukan memaksakan mereka. Pendidikan akan menjadi proses yang terus berlangsung tanpa henti karena sejatinya setiap orang harus belajar menjadi seorang pebelajar sepanjang hayatnya. Tak hanya anak-anak didik kita, tetapi juga kita sebagai orang tua mereka saat berada di sekolah

Beberapa aksi nyata yang sudah saya lakukan terkait Budaya Positif ini antara lain sosialisasi nilai-nilai kebajikan kepada anak-anak didik di kelas perwalian saya, curah pendapat dan kesepakatan terkait keyakinan kelas serta penerapan segitiga restitusi ketika anak didik saya melakukan pelanggaran atas aturan yang telah ditetapkan.  Masih ada beberapa aksi nyata lain yang akan saya lakukan terkait penerapan keyakinan kelas yang telah disepakati tersebut serta aksi berbagi pemahaman Budaya Positif kepada rekan-rekan sejawat.

Beberapa aksi nyata yang sudah saya lakukan sampai saat ini tersebut saya dokumentasikan dalam video berikut ini:




Comments

Popular posts from this blog

Suara, Pilihan, dan Kepemilikan Sebagai Bentuk Kepemimpinan Murid

Kolaborasi dan Komitmen Berkesinambungan Sebagai Dasar Membangun Budaya Positif

Aset Kita, Kekuatan Kita